Belajar Bersama Najiba
Rahmawati
Disusun untuk memenuhi
Tugas mata kuliah: Psikologi
Perkembangan Peserta Didik
Dosen Pengampu: Drs. Nur
Munajat, M.Si
Disusun oleh:
Nama : Hasan
Ibadin
NIM : 15410060
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamualikum
Wr. Wb
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, hidayah
dan inayah-Nya serta nikmat sehat sehingga penyusunan makalah guna memenuhi
tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan Peserta Didik ini dapat
selesai sesuai dengan waktunya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
baginda Nabi Agung Muhammad SAW dan semoga kita selalu berpegang teguh pada
sunnahnya Amin.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya ada hambatan
yang selalu mengiringi namun atas kerja sama dan diskusi, akhirnya semua
hambatan dalam penyusunan makalah ini dapat teratasi.
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai informasi
serta untuk menambah wawasan dalam studi Psikologi
Perkembangan Peserta Didik dan adapun metode yang saya ambil dalam penyusunan
makalah ini adalah berdasarkan pengumpulan sumber informasi dari berbagai
sumber buku,karya tulis dan media massa yang mendukung dengan tema makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan sebagai sumbangsih pemikiran khususnya
untuk para pembaca dan tidak lupa saya mohon maaf apabila dalam
penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari
keseluruhan makalah ini. Saya sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran
sangat saya harapkan demi kebaikan sayauntuk kedepannya.
Wassalamualikum Wr.Wb
Yogyakarta,
24 November 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ ........... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kognitif....................................................................................... 6
B. Teori
Perkembangan Kognitif................................................................ ........... 7
C. Strategi
Perkembangan Kognitif..................................................................... 8
D. Pengertian
Metekognitif................................................................................ 9
E. Keterampilan
Metakognisi ............................................................................ 10
F. Perkembangan Metakognitif ......................................................................... 13
G. Strategi
Perkembangan Metakognitif .............................................................. 15
H. Implikasi
Perkembangan Keterampilan Kognitif terhadap Pendidikan ................ 16
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................... ........... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Belajar adalah proses mental yang aktif untuk
mendapatkan, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman
yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Belajar
adalah aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks dan
saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan
atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang
kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah akan kehilangan makna.
Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang
mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaan
lainnya.
Kognitif merupakan salah satu aspek penting dari perkembangan peserta didik
yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran dan sangat menentukan
keberhasilan mereka di sekolah. Guru sebgai tenaga kependidikan yang
bertanggung jawab melaksanakan interaksi edukatif di dalam kelas, perlu
memiliki pemahaman yang mendalam tentang perkembangan kognitif peserta
didiknya. Dengan bekal pemahaman tersebut, guru akan dapat memberikan layanan
pendidikan atau melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan
kognitif peserta didik yang dihadapinya.
Seiring dengan perkembangan kognitifnya, anak-anak usia sekolah mulai
berusaha mengetahui tentang pikiranya sendiri, tentang bagaimana ia belajar dan
mengingat situasi-situasi yang dialami setiap hari, muali menyadari
proses-proses kognitifnya dan bagaimana seseorang dapat meningkatkan penilaian
kognitif mereka, serta memilih strategi-strategi yang cocok untuk meningkatkan
kinerja kognitif mereka. Para ahli psikologi menyebut tipe pengetahuan ini
dengan metakognitif (metacognitive), yaitu pengetahuan tentang kognisi
(Wellman, 1988). [1]
B. Rumusan
Masalah
a. Apa yang
dimaksud dengan kognitif?
b. Bagaimana teori
perkembangan kognitif?
c. Bagaimana
strategi pengembangan kognitif?
d. Apa yang
dimaksud dengan teori metakognitif?
e. Apa yang
dimaksud dengan keterampilan metakognisi?
f. Apa yang
dimaksud dengan perkembangan metakognitif?
g. Bagaimana
strategi perkembangan metakognitif?
h. Bagaimana
implikasi perkembangan keterampilan kognitif terhadap pendidikan?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah
sebagai berikut
a. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan kognitif.
b. Mengetahui apa
yang dimaksud dengan teori perkembangan kognitif.
c. Mengetahui
bagaimana strategi pengembangan kognitif.
d. Mengetahui apa
yang dimaksud dengan teori metakognitif.
e. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan keterampilan metakognisi
f. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan perkembangan metakognitif.
g. Mengetahui
bagaimana strategi perkembangan metakognitif.
h. Mengetahui
implikasi perkembangan keterampilan kognitif terhadap pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kognitif
Menurut
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kognitif/kog·ni·tif/ adalah 1 berhubungan
dengan atau melibatkan kognisi; 2 berdasar kepada pengetahuan faktual yang
empiris[2].
Sedangkan dalam buku (Desmita, 2006 :103) kognitif adalah sebuah istilah yang
digunakan psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang
memungkin akan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan
merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan
bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan,
memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya..
Ranah
kognitif juga merupakan ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut
Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah
kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk
didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis,
mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam
aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan
jenjang yang paling tinggi.
Tujuan
aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan
intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan
memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan
beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan
masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang
mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat
pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
Dalam
Dictionary of Psychology karya Chaplin (2002), dijelaskan bahwa “kognisi
termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka,
membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai. Secara tradisional, kognisi
ini dipertentangkan dengan konasi (kemauan) dan dengan afeksi (perasaan).
Sejumlah ahli psikologi juga menggunakan istilah thinking atau pikiran ini
untuk menunjuk pengertian yang sama dengan cognition (kognisi), yang mencakup
berbagai aktivitas mental, seperti: penalaran, pemecahan masalah, pembentukan
konsep-konsep, dan sebagainya. Atkinson, dkk., (1991) mengartikan berpikir
sebagai “kemampuan membayangkan dan mengambarkan benda atau peristiwa dalam
ingatan dan bertindak berdasarkan penggambaran ini. Pemecahan masalah melalui
manipulasi yang nyata.”
Dari
beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa kognitif atau pemikiran adalah
istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas
mental yang berhubungan dengan presepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan
informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan
masalah, dan merencankan masa depan, atau semua proses psikologis yang
berkaitan dengan bagaimana individu mempelajarai, memperhatikan, mengamati,
membayangkan, memperkirakan, menilai, dan memikirkan lingkungannya[3].
B. Teori
Perkembangan Kognitif
Dua teori
kognitif yang penting adalah teori perkembangan kognitif dari Piaget dan teori
pemrosesan informasi[4].
1. Teori Piaget
Dikembangan
oleh Jean Piaget. Seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan
banyak konsepmutama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh
terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan
untuk secara lebih tepat mereprentasikan dunia dan mealukan oprasi logis dalam
representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Piaget membagi skema yang
digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang
berkolerasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
Tahapan
sensorikmotorik (usia 0-2 tahun)
Tahapan sensorikmotorik
(sensorimotor stage) adalah tahap piaget yang pertama. Pada tahapan ini, anak
mengkontruksikan dengan pemahaman mengenai dunia dengan mengkoordinasikan
pengalaman sensoris (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan fisik,
motorik karena itu disebut sensorikmotorik. Contoh: bayi berkembang dari
tindakan yang bersifat naluriah-refeks pada waktu lahir ke permulaan pemikiran
simbolik.
Tahapan
pra-operasional (usia 2-7 tahun)
Tahapan pra-operasional
(preoperational stage) adalalah tahap piaget yang kedua. Pada tahap ini, anak
mulai merepretasikan dunia dengan kata-kata, citra, dan gambar-gambar. Anak
mulai menggambarkan dunia dengan kata-kata dan citra: kata-kata dan citra ini
merefleksikan peningkatan berpikir siombolik dan lebih dari sekedar hubungan
informasi sensoris dan tindakan fisik.
Tahap
oprasional konkrit (usia 7-11 tahun)
Tahap oprasional konkrit
(concrete operational stage) adalah tahap piaget yang ketiga. Pada tahapan ini,
anak dapat melakukan operasi dan penalaran logis, menggantikan pemikiran
intiutif, sepanjang penalaran dapat diaplikasikan pada contoh khusus atau
konkrit. Anak sekarang dapat bernalar secara logis tentang kejadian yang
konkrit dan mengklasifikasi obyek ke dalam kelompok yang berbeda.
Tahapan
operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahapan operasional formal
(formal operational stage) adalah tahap Piaget yang keempat dan terakhir. Pada
tahapan ini, individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan
konkrit, dan berpikir lebih abstrak serta logis. Pemikiran menjadi lebih
idealistik.
2. Teori Pemrosesan Informasi
Pemrosesan
Informasi (procerssing) berhubungan dengan bagaimana individu memproses
informasi masuk ke pikiran, bagaimana informasi tersebut disimpan dan di
transformasi, dan bagaiman informasi tersebut diambil kembali untuk melakukan
aktifitas kompleks seperti memcahkan masalah dan penalaran. Contohnya kita
memiliki ingatan yang baik tentang muka orang yang kita lihat, tetapi pada saat
yang sama ingatan kita tentang muka seseorang mungkin berbeda dengan penampilan
sebenarnya dari orang tersebut
Secara
sederhana, kemampuan kognitif dapat dipahami sebagai kemampuan anak untuk
berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan pemacahan
masalah. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif ini akan memudahkan anak
menguasai pengetahuan umum yang lebih luas, sehingga anak mampu menjalankan
fungsinya dengan wajar dalam interaksinya dengan masyarakat dan lingkungan
seharai-hari.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah salah satu aspek
perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan),
yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu
mempelajari dan memikirikan lingkungannya. [5]
Strategi kognitif
merupakan salah satu kecakapan aspek kognitif yang penting dikuasai oleh
seorang peserta didik dalam belajar atau memecahkan masalah. Strategi kognitif
merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif, setelah analisis, sintesis,
dan evaluasi. Hal ini sebgaimana dikemukakan oleh Pressley (dalam Santrock,
2006), kunci pendidikan adalah membantu siswa mempelajari serangkaian strategi
yang dapat menghasilkan solusi problem. Pemikir yang baik menggunakan strategi
secara rutin untuk memecahkan masalah. Pemikir yang baik juga tahu kapan dan di
mana mesti menggunakan strategi (pengetahuan metakognitif tentang strategi).
Memahami kapan dan di mana mesti menggunakan strategi sering muncul dari
aktivitas monitoring yang dilakukan siswa terhadap situasi pembelajaran.
1. Pengertian
Strategi Kognitif
Strategi
secara sederhana dapat didefinisikan sebagai: “specific methods of approaching
a problem or task, modes of operation for achieving a particular end, planned
designs for controlling and manipulating certain information (Brown, 2000).
McDevitt dan Ormrod (2002), mendefinisikan strategi kognitif sebagai “specific
mental process that people use to acquire or manipulation information.” Jadi,
yang dimaksud dengan strategi kognitif adalah proses mental atau kognitif
tertentu yang digunakan orang untuk memperoleh atau memanipulasi informasi.
Menurut
Gagne (dalam Paulina Pannen, dkk, 2001), strategi kognitif adalah kemampuan
internal kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam
proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
Menurut
Bell-Gredler (dalam Paulina Pannen, 2001), strategi kognitif merupakan proses
berpikir induksi, di mana siswa belajar untuk membangun pengetahuan berdasarkan
fakta atau prinsip yang diketahuinya. Strategi kognitif tidak berhubungan
dengan materi bidang ilmu tertentu, karena merupakan keterampilan berpikir
siswa yang internal dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu. Ini
terlihat ketika siswa mempelajari materi suatu ilmu, mereka juga terlibat dalam
proses untuk mengembangkan strategi kognitif.
2. Jenis-Jenis
Strategi Kognitif
Terdapat
berbagai jenis strategi kognitif yang digunakan oleh peserta didik dalam
belajar dan memecahkan masalah. West, Farmer dan Wolff (1991) mengidentifikasi
empat jenis strategi kognitif, yaitu:
a. Chuking,
merupakan strategi yang dilakukan dengan cara mengorganisasikan materi secara
sistematis melalui proses mengurutkan, megklasifikasikan, dan menyusun.
Strategi ini dipandang dapat membantu peserta didik dalam mengelola informasi
yang sangat banyak atau proses yang sangat kompleks. Dengan chuking peserta
didik dapat memilah-milah suatu materi pembelajran atau suatu masalah menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil dan kemudian menyusun bagian-bagian tersebut
secara berututan.
b. Spatial,
merupakan strategi untuk menunjukan hubungan antara satu hal dengan hal lain.
Strategi ini meliputi strategi pembingakaian (framing), dan pemetaan kognitif
(cognitive mapping).
c. Multipurpose,
merupakan strategi kognitif yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara
lain rehearsal,
imagery, dan mneumonics.
D. Pengertian
Metakognitif
Metakognitif adalah kemampuan untuk mengontrol ranah
atau aspek kognitif. Meta kognitif mengendalikan enam tingkatan aspek kognitif
yang didefinisikan oleh Benjamin Bloom dalam taksonomi Bloom yang terdiri dari
tahap ingatan, pemahaman, terapan, analisis dan sintetis dan evaluasi. Pada
tahun 1991 taksonomi ini direvisi oleh David Krathwohl menjadi mengingat, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (creating) [7].
Menurut Suherman et.al. (2001 : 95), metakognitif
adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya
sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan
prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang
dimilikinya. Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri
sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan
kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam
memecahkan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa
muncul pertanyaan : “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan
ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?”.
Flavel
(Jonassen, 2000 : 14) memberikan definisi metakognitif sebagai kesadaran
seseorang tentang bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran
sesuatu masalah, kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan
menggunakan berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuan menilai
kemajuan belajar sendiri. Sementara menurut Margaret W. Matlin (Desmita, 2006 :
137), metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes
– or our thought about thinking”.
Jadi metakognitif adalah suatu kesadaran tentang
kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana
mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi
penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas
metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.
Anderson & Krathwohl (Sukmadinata & As’ari,
2006 : 26) memberikan rincian dari pengetahuan yang dapat dikuasi atau
diajarkan pada setiap tahapan kognitif. Dalam lingkup pengetahuan tersebut,
pengetahuan metakognitif menempati pada tingkat tertinggi setelah pengetahuan
faktual, pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan
metakognitif meliputi pengetahuan strategik, pengetahuan tugas-tugas berpikir
dan pengetahuan pribadi. Sebagai contoh pengetahuan metakognitif, yaitu
pengetahuan tentang langkah-langkah penelitian, rencana kegiatan dan program
kerja ; pengetahuan tentang jenis metode, tes yang harus digunakan dan
dikerjakan guru ; dan pengetahuan tentang sikap, minat, karakteristik yang
harus dikuasai untuk menjadi seorang guru yang baik[8]
Metakognisi merupakan suatu
istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976
dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Hal ini
berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama didalam berbagai macam bidang
penelitian psikologi, dan juga tidak dapat diterapkan pada satu bidang
psikologi saja. Namun demikian, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para
peneliti bidang psikologi, pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran
berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri (Flavel,
1976).
Anderson & Kathwohl (2001)
menyatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama
dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi diri seseorang. Karena
itu dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang
diketahui dan apa yang tidak diketahui. Sedang strategi metakognisi merujuk
kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan
pembelajaran yang berlaku sehingga bila kesadaran ini terwujud, maka akan
timbul keterampilan metakognitif di mana seseorang dapat mengawal pikirannya dengan
merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajarinya.
Van Hount-Woltes (2006) setuju
bahwa keterampilan metakognitif berisi kegiatan di fase orientasi, penyesuaian
pemantauan, perencanaan, evaluasi dan refleksi. Penelitian
sebelumnya juga mewakili banyak kategori ini disimpulkan oleh Veenman dkk (1997), ada tiga tahap penting
selama proses kontrol metakognitif yaitu: perencanaan, monitoring dan evaluasi.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Hong (1999) mengacu pada aktivitas
metakognitif terdiri dari tindakan seperti perencanaan atau penetapan tujuan
dan pemantauan solusi. Minnaert dan Janssen (1999) dalam studinya yang
menggunakan kuesioner dengan pertanyaan metakognitif mengacu pada kegiatan di
tahap penetapan tujuan, orientasi, perencanaan, pemantauan, pengujian,
mendiagnosa, evaluasi dan refleksi. Malpass dkk (1999) mendefinisikan
metakognisi sebagai konsistensi kesadaran yang terdiri dari, perencanaan,
evaluasi, dan pemantauan.
Desoete
(2001) menyatakan bahwa metakognisi memiliki tiga komponen pada penyelesaian
masalah fisika dalam pembelajaran, yaitu: (a) pengetahuan metakognitif, (b)
keterampilan metakognitif, dan (c) kepercayaan metakognitif. Namun belakangan
ini, perbedaan paling umum dalam metakognisi adalah memisahkan pengetahuan
metakognitif dari keterampilan metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu
kepada pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
kondisional seseorang pada penyelesaian masalah. Sedangkan keterampilan
metakognitif mengacu kepada keterampilan perencanaan (planning skills), keterampilan
monitroring(monitoring skills), keterampilan evaluasi (evaluation
skills) dan keterampilan prediksi (prediction skills) ( Wall K
et,al., 2009 ).
Menurut
Brown (1980), keterampilan metakognitif dapat dilihat sebagai pengontrolan
orang-orang yang memiliki lebih dari proses kognitif mereka sendiri. Sejumlah
besar data telah terakumulasi pada empat keterampilan metakognitif yaitu:
prediksi, perencanaan, pemantauan, dan evaluasi (Lucangeli & Cornoldi,
1997). Dalam fisika, prediksi mengacu pada kegiatan yang bertujuan untuk membedakan
latihan yang sulit dan yang mudah. Perencanaan melibatkan analisis latihan,
mengambil relevan domain spesifik pengetahuan keterampilan dan sekuensing
pemecahan masalah yang strategis. Pemantauan ini terkait dengan pertanyaan
seperti "Apakah saya telah mengikuti rencana saya?" "Apakah ini
rencana kerja"? "Apakah saya harus menggunakan kertas dan pensil
untuk memecahkan masalah?" Dan sebagainya. Sedangkan dalam evaluasi
menilai sendiri jawaban dan proses mendapatkan jawaban.
1. Keterampilan
perencanaan (planning skills)
Perencanaan merupakan
keterampilan yang mengutamakan proses sistematis dan berfikir dalam
pemecahan masalah, yang bertujuan adanya solusi dalam suatu pilihan. Keterampilan perencanaan
tidak hanya membantu untuk menciptakan solusi tapi juga membantu untuk lebih
memahami permasalahan itu sendiri.Jadi sebuah usulan lebih diutamakan dibanding
informasi awal. Proses
perencanaan menggiring kita untuk berfikir kembali atau merangkai masalah
kembali. Ungkapan tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa
sulit untuk menghindarkan diri dari masalah, karena masalah telah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan, baik kehidupan sosial, maupun
kehidupan profesional. Untuk itulah penguasaan atas metode pemecahan masalah
menjadi sangat penting agar terhindar dari tindakan Jump to conclusion,
yaitu proses penarikan kesimpulan terhadap suatu masalah tanpa melalui proses
analisa masalah secara benar, serta didukung oleh bukti-bukti atau informasi
yang akurat Hamalik (2002). Aqib(2003), mengungkapkan bahwaperencanaan dapat membantu dalam memahami masalah
yang kompleks menjadi lebih sederhana.
Keberhasilan suatu kegiatan
sangat ditentukan oleh perencanaannya. Apabila perencanaan suatu kegiatan
dirancang dengan baik, maka kegiatan akan mudah dilaksanakan, terarah, serta
terkendali. Demikian pula halnya dengan proses belajar mengajar, agar
pelaksanaan proses tersebut berjalan dengan baik maka diperlukan perencanaan
pembelajaran yang baik pula. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
keterampilan perencanaan maka suatu proses pemecahan masalah akan mendapatkan
hasil yang lebih baik.
2. Keterampilan
monitoring (monitoring skill)
Monitoring merupakan
pemantauan yang dapat dijelaskan sebagai kesadaran
(awareness) tentang apa yang ingin diketahui, pemantauan berkadar
tingkat tinggi dilakukan agar dapat membuat pengukuran melalui waktu yang
menunjukkan pergerakan ke arah tujuan atau menjauh dari itu. Monitoring akan memberikan
informasi tentang status dan kecenderungan bahwa pengukuran dan evaluasi yang
diselesaikan berulang dari waktu ke waktu. Monitoring umumnya
dilakukan untuk tujuan tertentu, diantaranya
adalah untuk memeriksa terhadap
proses atau untuk mengevaluasi kondisi (Arikunto, 2004).
Monitoring menyediakan
data dasar untuk menjawab permasalahan, sedangkan evaluasi adalah memposisikan
data-data tersebut agar dapat digunakan dan diharapkan memberikan nilai tambah.
Namun tanpa monitoring, evaluasi tidak dapat dilakukan karena tidak memiliki
data dasar untuk dilakukan analisis, dan dikhawatirkan akan mengakibatkan
spekulasi, oleh karena itu monitoring dan evaluasi harus berjalan seiring.
Keterampilan
monitoring adalah keterampilan dalam proses pengumpulan dan analisis
informasi (berdasarkan indikator yg ditetapkan) secara sistematis dan berkelanjut tentang kegiatan belajar
sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi untuk penyempurnaan kegiatan
selanjutnya. Mulyasa (2006) menyebutkan tujuan monitoring yaitu
untuk: (1) mengkaji apakah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
telah sesuai dengan rencana,(2) mengidentifikasi masalah yang timbul agar
langsung dapat diatasi, (3) melakukan penilaian apakah pola yang digunakan
sudah tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran, (4) mengetahui kaitan antara
kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh ukuran kemajuan, (5)
menyesuaikan kegiatan dengan lingkungan yang berubah, tanpa menyimpang dari
tujuan.
3. Keterampilan
evaluasi (evaluation skills)
Evaluasi adalah proses
penilaian pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja untuk memberikan
umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja itu
sendiri. Keterampilan
evaluasi sangat diperlukan oleh peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran. Adapun tujuan dari keterampilan evaluasi adalah untuk
mendapatkan informasi dan menarik pelajaran dari pengalaman dari kegiatan
yang baru selesai dilaksanakan, maupun yang sudah berfungsi sebagai umpan balik
bagi pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
dan pengendalian pembelajaran selanjutnya (Sukmadinata, 2004).
Arikunto
(2006), menyatakan bahwa pentingnya evaluasi adalah untuk:
(1) memperlihatkan keberhasilan atau kegagalan dari kegiatan, (2)
menunjukkan di mana dan bagaimana perlu dilakukan perubahan-perubahan, (3)
menentukan bagaimana kekuatan atau potensi dapat ditingkatkan, (4)
memberikan informasi untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusan, (5)
membantu untuk dapat melihat konteks dengan lebih luas serta implikasinya
terhadap kinerja peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
4. Keterampilan
prediksi (prediction skills)
Prediksi adalah ramalan
tentang kejadian yang dapat diamati diwaktu yang akan datang. Prediksi
didasarkan pada observasi yang cermat dan inferensi tentang hubungan antara
beberapa kejadian yang telah diobservasi. Perbedaan inferensi dan prediksi
yaitu: inferensi harus didukung oleh fakta hasil observasi, sedangkan prediksi
dilakukan dengan meramalkan apa yang akan terjadi kemudian berdasarkan data
pada saat pengamatan dilakukan (Rustaman, 2003).
Pada keterampilan
ini peserta didik diajak untuk melibatkan
pengetahuan yang sudah diperolehnya dahulu untuk digabungkan dengan
informasi yang diperoleh dari teks yang dibaca untuk kemudian digunakan dalam
mengimajinasikan kemungkinan yang akan terjadi berdasar atas gabungan informasi
yang sudah dimilikinya. Setidaknya peserta didik diharapkan dapat membuat
dugaan tentang topik dari paragraf selanjutnya.
Keterampilan
metakognitif melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang aktivitas
kognitifnya sendiri atau
segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya (Livingston,
1997; Schoenfeld, 1992; danSukarnan,
2005). Dengan demikian,
aktivitas kognitif seseorang seperti perencanaan, monitoring, dan mengevaluasi
penyelesaian suatu tugas tertentu merupakan keterampilan metakognitif secara
alami. Moore (2004) menyatakan
bahwa:
“Metacognition refers to the
understanding of knowledge, an understanding that can be reflected in either
effective use or overt description of the knowledge in question. It is clear in
the research data that any definition should describe two distinct yet
compensatory competencies: 1) awareness about what it is that is known
(knowledge of cognition) and 2) how to regulate the system effectively
(regulation of cognition). The research literature reflects on overall
acceptance of “knowledge of cognition.” It includes declarative, procedural,
and conditional knowledge, and “regulation of cognition” includes planning,
prediction, monitoring, testing, revising, checking, and evaluating activities.”
“Metakognisi
mengacu pada pemahaman seseorang tentang pengetahuannya, sehingga
pemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya akan mencerminkan
penggunaannya yang efektif atau uraian yang jelas tentang pengetahuan yang
dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan kognisi adalah
kesadaran seseorang tentang apa yang sesungguhnya diketahuinya dan regulasi
kognisi adalah bagaimana seseorang mengatur aktivitas kognisinya secara
efektif. Karena itu, pengetahuan kognisi memuat pengetahuan deklaratif,
prosedural, dan kondisional, sedangkan regulasi kognisi mencakup kegiatan
perencanaan, prediksi, monitoring (pemantauan), pengujian, perbaikan (revisi),
pengecekan (pemeriksaan), dan evaluasi.”
Secara
umum, pengetahuan metakognitif mulai berkembang pada usia 5-7 tahun, dan terus
berkembang selama usia sekolah, masa remaja, bahkan sampai masa dewasa.
Penelitian Flavel tentang metakognitif lebih difokuskan kepada anak-anak.
Flavel menunjukan bahwa anak-anak yang masih kecil telah menyadari adanya
pikiran, memiliki keterkaitan atau terpisah dengan dunia fisik, dapat
menggambarkan objek-objek, dan peristiwa-peristiwa secara akurat atau tidak
akurat, dan secara aktif menengahi interpretasitentang realitas dan emosi yang
dialami.
Sejumlah
peneliti lain lebih tertarik mempelajari kemampuan metakognitif anak-anak,
apakah anak-anak yang masih kecil telah mampu memahami pikiran-pikiran mereka
sendiri dan pikiran-pikiran orang lain. Hala, Chandler dan Fritz (1991)
misalnya, menemukan bahwa anak-anak yang masih kecil usia 2 atau 2,5 tahun
telah mengerti bahwa untuk menyembunyikan sebuah objek dari orang lain mereka
harus menggunakan taktik penipuan, seperti berbohong atau menghilangkan jejak
mereka sendiri.
Wellman
dan Gelman (1997) juga menunjukan bahwa pemahaman anak tentang pikiran manusia
tumbuh secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama kehidupannya. Kemudian usia 3
tahun anak menunjukan suatu pemahaman bahwa kepercayaan dan keinginan-keinginan
internal dari seseorang berkaitan dengan tindakan-tindakan orang tersebut.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kesadaran metakognitif telah berkembang jauh
sebelum anak masuk sekolah. Kemudian, melalui interaksinya dengan dunia
sekolah, kesadaran metakognitif anak akan terus mengalami perkembangan hingga
remaja, bahkan sampai dewasa. Pada usia 7 atau 8 tahun kemampuan metakognitif
anak meningkat secara mencolok. Pada masa ini, penilaian anak terhadap isyarat
kognitif meningkat tajam. Hal ini mungkin disebabkan anak semakin menyadari
kehendak sadar (stream of consciusness) dari pikirannya sendiri dan orang lain
(Flavell, at al., 1995) sejumlah ahli belakangan juga percaya bahwa konsep
tentang proses berpikir dan kesadaran tentang pikiran dan belajar berkembang
dengan baik selama masa pertengahan anak-anak dan remaja (Ferrari &
Sternberg, 1998; Wellman & Hickling, 1994).
Sumber
lain menyebutkan bahwa perkembangan dalam psikologi bidang pendidikan
berjalan sangat pesat, salah satunya adalah perkembangan konsep metakognisi
(metacognition) yang pada intinya menggali pemikiran orang tentang berpikir ”thinking
about thinking”. Konsep dari metakognisi adalah ide dari berpikir tentang
pikiran pada diri sendiri. Termasuk kesadaran tentang apa yang diketahui
seseorang (pengetahuan metakognitif), apa yang dapat dilakukan seseorang
(keterampilan metakognitif) dan apa yang diketahui seseorang tentang kemampuan
kognitif dirinya sendiri (pengalaman metakognitif). [11]
Variabel
lain yang terkait dengan metakognisi adalah variabel individu. Sebagai modal
dasar untuk menjadi seorang pebelajar mandiri (self-learner) yang baik, siswa
harus memiliki pengetahuan tentang kelemahan dan kelebihan dirinya dalam
menghadapi tugas-tugas kognitif, yang menurut Anderson & Krathwohl (2001)
disebut pengetahuan-diri (self-knowledge). Bahkan lebih jauh siswa harus mampu
memilih, menggunakan, dan memonitor strategi-strategi kognitif yang cocok dengan
tipe belajar, gaya berpikir, dan gaya kognitif yang dimiliki dalam mengahadapi
tugas-tugas kognitif. Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual harus
sering menggunakan strategi elaborasi peta konsep dalam memahami materi yang
sedang dipelajari. Kemampuan seperti ini merupakan salah satu komponen
metakognisi yang disebut pemonitoran kognitif. [12]
Blakey
& Spence (1990) mengemukakan strategi-startegi atau
langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan metakognisi, yakni:
1. Mengidentifikasi
Memulai
aktivitas pengamatan, siswa perlu membuat keputusan yang disadari tentang
pengetahuan mereka. Dengan menyelidiki suatu topik, siswa akan menverifikasi,
mengklarivikasi dan mengembangkan, atau mengubah pernyataan awal mereka dengan
informasi yang akurat.
2. Berbicara
tentang berpikir (Talking about thinking)
Selama
membuat perencanaan dan memecahkan masalah, guru boleh “menyuarakan pikiran”,
sehingga siswa dapat ikut mendemonstrasikan proses berpikir. Pemecahan
masalah berpasangan merupakan strategi lain yang berguna pada langkah
ini. Seorang siswa membicarakan sebuah masalah, mendeskripsikan proses
berpikirnya, sedangkan pasangannya mendengarkan dan bertanya untuk membantu
mengklarifikasi proses berpikir.
3. Membuat
jurnal berpikir (keeping thinking journal)
Cara lain
untuk mengembangkan metakognisi adalah melalui penggunaan jurnal atau catatan
belajar. Jurnal ini berupa buku harian dimana setiap siswa
merefleksi berpikir mereka, membuat catatan tentang kesadaran mereka terhadap
kedwiartian (ambiguities) dan ketidakkonsistenan, dan komentar tentang
bagaimana mereka berurusan/menghadapi kesulitan.
4. Membuat
perencanaan dan regulasi-diri
Siswa
harus mulai bekerja meningkatkan responsibilitas untuk merencanakan dan
meregulasi belajar mereka. Sulit bagi pebelajar menjadi orang yang mampu
mengatur diri sendiri (self-directed) ketika belajar direncanakan dan
dimonitori oleh orang lain.
5. Melaporkan
kembali proses berpikir (Debriefing thinking process)
Aktivitas
terakhir adalah menfokuskan diskusi siswa pada proses berpikir untuk
mengembangkan kesadaran tentang strategi-strategi yang dapat diaplikasikan pada
situasi belajar yang lain. Metode tiga langkah dapat digunakan; Pertama:
guru mengarahkan siswa untuk mereviu aktivitas, mengumpulkan data tentang
proses berpikir; Kedua: kelompok mengklasifikasi ide-ide yang
terkait, mengindentifikasi strategi yang digunakan;Ketiga: mereka
mengevaluasi keberhasilan, membuang strategi-strategi yang tidak tepat,
mengindentifikasi strategi yang dapat digunakan kemudian, dan mencari
pendekatan alternatif yang menjanjikan.
6. Evaluasi-diri
(Self-evaluation)
Mengarahkan
pengalaman-pengalaman evaluasi-diri dapat diawali melalui pertemuan individual
dan daftar-daftar yang berfokus pada proses berpikir. Secara bertahap,
evaluasi-diri akan lebih banyak diaplikasikan secara independen.
Kemampuan
metakognisi, keterampialn menggunakan strategi kognitif, merupakan aspek-aspek
kognitif yang penting dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik di
sekolah. Peserta didik yang hadir di sekolah harus memiliki dan mengembangkan
kemampuan metakognisinya serta terampil dalam menggunakan strategi kognitif
yang efektif. Kemampuan metakognisi dan strategi kognitif memberikan beberapa
implikasi bagi pendidikan. Dalam uraian berikut akan diketengahkan beberapa
upaya yang harus dilakukan guru dalam mengembangkan kemampuan metakognisi dan
strategi kognitif peserta didik.
1. Guru
harus mengajarkan dan menganjurkan kepada peserta didik untuk menggunakan
strategi belajar yang sesuai dengan kelompok usia mereka.
2. Memberikan
pelatihan tentang strategi belajar, kapan dan bagaimana menggunakan strategi
untuk mempelajari tugas-tugas baru dan sulit. Penelitian tentang pelatihan
strategi (strategy training) menunjukan bahwa terjadinya kemajuan belajar
secaraa substansial setelah peserta didik mengikuti traning strategi di sekolah
(Seiffer & Hofnung, 1994).
3. Menunjukan
strategi belajar yang efektif serta mendorong peserta didik untuk menggunakan
strateginya sendiri.
4. Mengidentifikasi
situasi-situasi di mana suatu strategi memungkinkan untuk digunakan.
5. Memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk bekajar sendiri, dengan sedikit atau
tanpa bantuan dari guru.
6. Memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengakses hasil belajarnya
sendiri, sehingga mereka bisa mengetahui apa yang telah dikerjakannya dan apa
yang belum diketahuinya.
7. Sering
memberikan umpan balik tentang kemajuan belajar mereka.ketika guru sering
memberikan uman balik, ia tidak hanya meningkatkan belajar dan prestasi
akademik pesera didik di kelas, tetapi juga membantu metakognitif mereka
berkembang dengan baik. Guru dapat juga menggunakan uman balik untuk mendorong
perkembangan strategi belajar siswa yang lebih efektif.
8. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi belajarnya sendiri dan menlong
mereka mengembangkan mekanisme melakukan perbuatan belajar yang efektif.
9. Mengharapkan
dan menganjurkan peserta didik untuk belajar mandiri, yakni melakukan perbuatan
belajar sendiri, menentukan sendiri apa yang harus dilakukan, memecahkan
masalah sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kognitif
adalah sebuah istilah yang digunakan psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas
mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan
pengolahan informasi yang memungkin akan seseorang memperoleh pengetahuan,
memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis
yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati,
membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya. (Desmita,
2006 :103).
Sedangkan
perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan peserta didik yang
berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang
berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirikan lingkungannya.
Strategi
kognitif merupakan salah satu kecakapan aspek kognitif yang penting dikuasai
oleh seorang peserta didik dalam belajar atau memecahkan masalah. Strategi
kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif, setelah analisis,
sintesis, dan evaluasi. Hal ini sebgaimana dikemukakan oleh Pressley (dalam
Santrock, 2006), kunci pendidikan adalah membantu siswa mempelajari serangkaian
strategi yang dapat menghasilkan solusi problem. Pemikir yang baik menggunakan
strategi secara rutin untuk memecahkan masalah. Pemikir yang baik juga tahu
kapan dan di mana mesti menggunakan strategi (pengetahuan metakognitif tentang
strategi). Memahami kapan dan di mana mesti menggunakan strategi sering muncul
dari aktivitas monitoring yang dilakukan siswa terhadap situasi pembelajaran.
Metakognitif adalah suatu
kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta
bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan
efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas
metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”
Sedangkan
berkaitan dengan keterampilan metakognisi Anderson & Kathwohl (2001) menyatakan bahwa
metakognisi adalah pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama dengan
kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi diri seseorang. Karena itu dapat
dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan
apa yang tidak diketahui. Sedang strategi metakognisi merujuk kepada cara untuk
meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan pembelajaran yang berlaku
sehingga bila kesadaran ini terwujud, maka akan
timbul keterampilan metakognitif di mana seseorang dapat mengawal pikirannya dengan
merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajarinya.
Kesadaran
metakognitif telah berkembang jauh sebelum anak masuk sekolah. Kemudian,
melalui interaksinya dengan dunia sekolah, kesadaran metakognitif anak akan
terus mengalami perkembangan hingga remaja, bahkan sampai dewasa. Pada usia 7
atau 8 tahun kemampuan metakognitif anak meningkat secara mencolok. Pada masa
ini, penilaian anak terhadap isyarat kognitif meningkat tajam. Hal ini mungkin
disebabkan anak semakin menyadari kehendak sadar (stream of consciusness) dari
pikirannya sendiri dan orang lain (Flavell, at al., 1995) sejumlah ahli
belakangan juga percaya bahwa konsep tentang proses berpikir dan kesadaran
tentang pikiran dan belajar berkembang dengan baik selama masa pertengahan
anak-anak dan remaja (Ferrari & Sternberg, 1998; Wellman & Hickling,
1994).
Blakey
& Spence (1990) mengemukakan strategi-startegi atau
langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan metakognisi, yakni:
1. Mengidentifikasi
2. Berbicara
tentang berpikir (Talking about thinking)
3. Membuat
jurnal berpikir (keeping thinking journal)
4. Membuat
perencanaan dan regulasi-diri
5. Melaporkan
kembali proses berpikir (Debriefing thinking process)
6. Evaluasi-diri
(Self-evaluation)
Kemampuan
metakognisi, keterampialn menggunakan strategi kognitif, merupakan aspek-aspek
kognitif yang penting dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik di
sekolah. Peserta didik yang hardir di sekolah harus memiliki dan mengembangkan
kemampuan metakognisinya serta trampil dalam menggunakan strategi kognitif yang
efektif.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Desmita,
“Psikologi Perkembangan Peserta Didik : Panduan Bagi Orang Tua dan Guru dalam
Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, SMA”, PT. Remaja Rodaskarya, Bandung :
2009.
·
http://muhammadsatriawan27.blogspot.co.id/2013/09/metakognitif.html
·
Pranala
(link):http://kbbi.web.id/kognitif
·
IDAMAN
(Ikatan Pemuda Mandiri) BERKARYA UNTUK NEGERI.
Sahabatidamanku.blogspot.com/2012_09_30_archive.html
·
Related:file.upi.edu/Direktori/KD-TASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KD-TASIKMALAYA)-
MAKALAH PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN KETERAMPILAN METAKOGNISI PESERTA DIDIK DAN
IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
[1] Dra. Desmita, M.Si., “Psikologi
Perkembangan Peserta Didik : Panduan Bagi Orang Tua dan Guru dalam Memahami
Psikologi Anak Usia SD, SMP, SMA”, (Bandung: PT. Remaja Rodaskarya, 2009),
hal. 131
[3]IDAMAN (Ikatan Pemuda
Mandiri) BERKARYA UNTUK NEGERI. Sahabatidamanku.blogspot.com/2012_09_30_archive.html
[5] Dra. Desmita, M.Si., “Psikologi
Perkembangan Peserta Didik : Panduan Bagi Orang Tua dan Guru dalam Memahami
Psikologi Anak Usia SD, SMP, SMA”, (Bandung: PT. Remaja Rodaskarya, 2009),
hal. 96-97.
[6] Ibid, hal. 139.
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Metakognisi
[8] Abdul, Dindin M. L.,
PERKEMBANGAN METAKOGNITIF DAN PENGARUHNYA PADA KEMAMPUAN BELAJAR ANAK http://file.upi.edu/Direktori/KDTASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KDTASIKMALAYA)197901132005011003/132313548%20%20dindin%20abdul%20muiz%20lidinillah/Perkembangan%20Metakognitif.pdf. Hlm. 3
[10] Dra.
Desmita, M.Si., “Psikologi Perkembangan Peserta Didik : Panduan Bagi Orang Tua
dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, SMA”, (Bandung: PT. Remaja
Rodaskarya, 2009), hal. 135-136.
[11] IDAMAN (Ikatan Pemuda Mandiri)
BERKARYA UNTUK NEGERI. Sahabatidamanku.blogspot.com/2012_09_30_archive.html
[13] IDAMAN (Ikatan Pemuda
Mandiri) BERKARYA UNTUK NEGERI.
Sahabatidamanku.blogspot.com/2012_09_30_archive.html
[14] Dra.
Desmita, M.Si., “Psikologi Perkembangan Peserta Didik : Panduan Bagi Orang
Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, SMA”, (Bandung:
PT. Remaja Rodaskarya, 2009), hal. 143-144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar